KISAH SEORANG ANAK YANG CACAT
Mengapa sampai saat ini Ibuku malah semakin sayang pada saudara
tiriku. Sedangkan aku? Sepertinya dibuang, Ibuku tidak memperhatikanku
lagi, makan pun aku harus mengambil sendiri dengan keadaanku yang
seperti ini. Aku lumpuh tak dapat berjalan, aku hanya dapat duduk di
kursi roda sepanjang harinya. Sepertinya aku ditelantarkan oleh ibu
kandungku sendiri. Andai saja tidak ada kakaku Aisyah yang
memperhatikanku mungkin sekarang ini aku sudah mati kelaparan. Ibuku
jarang menanyai ‘sudah makan apa belum?’ atau kata yang lainnya yang
menunjukan bahwa dia peduli kepadaku. Aku sedih dan aku sakit hati,
ternyata aku diterlantarkan oleh ibuku sendiri justru yang mendapatkan
kasih sayang setiap harinya adik tiriku bahkan kakakku Aisyah jarang
diperhatikan juga. Dia berusaha untuk hidup mandiri katanya dan dia
ingin mengurusku dengan kesabarannya.
Aku bangga mempunyai kakak yang sangat perhatian padaku. Kakaku
memang tidak tegaan pada siapapun apalagi anak kecil yang tidak sempurna
fisiknya. Aku sangat mengagumi kakakku ketimbang artis-artis indonesia
atau artis luar, dia sangat berjasa dalam hidupku begitu juga dengan
ibuku.
Kakakku yang masih berumur 15 tahun itu, dia seorang yang pekerja
keras, dia suka belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, membaca buku
setiap jamnya, setiap waktu ia isi dengan hal baik dan dengan hal-hal
yang positif. Dia tidak pernah pergi bermain untuk seharian, paling saja
pergi ke warung internet untuk mengerjakan tugas sekolahnya, itu pun
hanya beberapa jam saja.
Ibu dan kakakku adalah wanita yang tegar. Namun, sekarang ibuku sudah
ada yang mendampingi lagi dan aku kategorikan bahwa kak Aisyah lah
wanita yang paling tegar. Dia masih remaja belum masuk usia dewasa tapi
dia masih mau mengasuhku dan memberiku makan, menyuapiku, memandikanku,
membersihkan kotoranku. Aku lemah tidak berdaya, tidak seperti kakakku
yang fisiknya sempurna. Tuhan itu cukup adil bagiku dia telah
menciptakan makhluknya sedemikian rupa, dia menciptakan manusia tidak
sempurna namun ada yang harus menyempurnakannya. Seperti aku inilah
contohnya, Tuhan menciptakan kak Aisyah untukku, agar bisa mengurus dan
memperhatikanku tanpa mengenal lelah dan letih. Dia juga belajar
sepanjang hari agar menjadi murid yang berprestasi di sekolahnya. Kak
Aisyah memang pandai mengatur waktu. Kak Aisyah juga sangat menyukai
berolahraga dan itu menyehatkan katanya. Seandainya fisikku sama seperti
kak Aisyah mungkin setiap hari minggu kita jogging bareng, main bulu
tangkis bareng, main basket bareng dan yang lainnya.
Andai saja orangtuaku mampu menunjang kebutuhan hidup kita mungkin
kak Aisyah sekarang sudah menjadi Atlet terbaik. Namun sayang kelabilan
ekonomi yang membuat kita tidak bisa mengembangkan bakat kita
masing-masing. Kalau aku tidak punya bakat apa-apa, bakatku Cuma
nyusahin kak Aisyah dan Ibuku saja. Tapi aku sangat suka melukis, sering
kali aku melukis wajah kak Aisyah yang anggun nan cantik jelita itu.
Kepalanya yang selalu ditutupi oleh kerudung, wajahnya yang cantik, dan
kulitnya yang tidak begitu putih, tidak begitu hitam juga tapi menurutku
itu adalah anugerah yang Allah berikan yang telah membuat kak Aisyah
sempurna di mataku.
Namun, ibuku sifatnya kini jauh berbeda semenjak ia menikah lagi.
Bapakku kini telah jauh dariku, entah dimana sekarang dia berada. Ibuku
selalu memarahiku jika aku pipis dicelana karena tak tahan, aku
dimarahinya. Katanya aku ini ‘anak yang tidak berguna dan hanya bisa
menyusahkan orang tua saja. YaAllah, jika hati ibuku masih lembut
seperti dulu mungkin aku tidak terlalu sakit hati atas semua
perkataannya. Seandainya ibuku tidak menikah lagi mungkin aku akan terus
diperhatikan seperti dulu. Perhatiannya kini pudar semenjak kehadiran
anak-anak dari ayah tiriku.
Aku bagaikan lilin yang habis batangnya karena dilelehkan api dan
sekarang aku tidak berguna, aku sangat tidak berguna. Ibuku selalu
bilang jadilah anak yang berguna walaupun keadaan fisikmu seperti ini.
Namun apa yang dapat aku lakukan? Tidak ada, aku hanya dapat duduk di
kursi roda ini pemberian dari Ibu ayahku yang kini sudah meninggal
sekitar 5 tahun yang lalu. Aku hanya dapat duduk di kursi roda tua ini
dan aku tidak ada tenaga untuk mendorong sendiri kursi roda ini, kadang
aku menyuruh kak Aisyah untuk mendorongnya. Aku tidak berani menyuruh
ibuku, karena aku takut ibuku malah marah-marah. Ibuku sungguh tidak
seperti dulu. Apa aku ini menjijikan sehingga ayah tiri dan ibu
kandungku sendiri tidak sudi memberikan perhatiannya padaku. Aku hanya
butuh kasih sayang dari kedua orangtua ku yang utuh, yang seperti dulu.
Sungguh aku tidak ingin mempunyai ayah tiri dan aku ingin ibuku
menyayangiku seperti dulu. Saat aku masih bayi dan seterusnya.
Kak Aisyah tempatku mengadu, ka Aisyah yang memelukku saat aku hendak
tidur, kak Aisyah yang mencium keningku saat aku sudah terlelap dalam
tidurku. Aku dapat merasakan kasih sayang yang tulus dari ka Aisyah.
Kasih sayang ibu padaku kini telah pudar, ibu tidak peduli lagi
kepadaku. Ya Allah bukakanlah kembali pintu hati IBu untukku. Aku selalu
berdoa seperti itu setiap malam, sebelum aku tidur.
Setiap pagi, aku hanya dapat memandang pemandangan yang tidak enak
bagiku. Ibuku yang biasanya membuatkan nasi goreng dan satu cangkir teh
manis, sekarang semuanya telah dialihkan pada adik tiriku. Satu suapan
pun ibu tidak pernah memberikannya lagi untukku.
“Ehhmm, udah nih makan aja nasi goreng Kakak Al, kakak gak bisa nyuapin
kamu. Kakak buru-buru berangkat sekolah, maaf banget ya.” Kata kak
Aisyah sambil menyimpan satu piring plastik nasi goreng di pahaku. Aku
hanya tersenyum melihat kak Aisyah, dia sangat peduli kepadaku.
“HAti-hati kak.” Teriakku sambil melambaikan tangan.
Nah, sekarang sepi tanpa kak Aisyah. Gak ada teman ngobrol, nggak ada
teman bercerita. Untung saja Allah masih mengizinkan aku berbicara,
setelah Allah kasih aku ketidak sempurnaan fisik ini. Mataku hanya
terbuka satu saja, mata sebelahku memang sudah tidak ada sejak saat aku
dilahirkan. Kak Aisyah yang bercerita tentang aku waktu aku masih bayi
dan masih ada dalam kandungan.
Katanya, dulu aku sering dibelai oleh ibu saat aku masih ada dalam
kandungan. Aku dijaga sepenuh hati oleh ibu. Aku dijaga sepenuhnya oleh
ibu, dengan seluruh kasih sayangnya walau aku masih ada di dalam
kandungan, ibu berharap mengeluarkan anak perempuan agar kak Aisyah
punya kawan untuk bermain. Namun semuanya berbeda, ibu ku terjatuh saat
ibu sedang mengepel halaman rumah.
Ibu mengepel dengan lap tangan, ibu bilang sama kak Aisyah bahwa ibu
ceroboh karena Ibu juga tidak hati-hati. Ibu terpeleset saat
membersihkan lantai di halaman dan ibu langsung tengkurap dan setelah
aku dilahirkan keadaan fisikku seperti ini. Setelah ibu bersusah payah
dan menaruhkan setengah nyawanya untuk mengeluarkan aku dari rahim dan
Ibu menangis saat mengetahui bahwa aku cacat. Namun, ibu memelukku ibu
bersyukur setidaknya aku ada di dunia ini dan dapat menemani ibu. Ibu
bilang ibu akan menjagaku, walaupun aku cacat katanya. Ibu akan selalu
menyayangiku dan selalu memberikan perhatiannya padaku.
Itu yang kak Aisyah ceritkan kepadaku.
Tapi, kenapa semenjak ada anak tiri nya sifat dan prilaku Ibu
kepadaku itu sangat berbeda. Ibu sepertinya sudah tidak peduli lagi
kepadaku. Hari-hari yang aku jalani penuh dengan rasa IRI karena
beruntungnya saudara tiriku mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungku.
Saudara tiriku memang perlu diberi kasih sayang dan karena ibu
kandungnya sudah meninggal. Aku selalu berusaha untuk memakluminya, aku
mencoba sabar, mungkin nanti ada saatnya lagi ibu bisa memperhatikanku
lagi. Walaupun bukan sekarang.
Siang itu aku menghampiri Ibu yang sedang duduk menghadap mesin
jahit, ibuku memang mahir dalam urusan jahit-menjahit. Ibu juga tidak
perlu pergi jauh-jauh ke pasar untuk membeli baju baru. Ibu selalu
memanfaatkan kain-kain yang tersisa untuk dibuat baju atau barang
lainnya, karena sisanya juga tidak terlalu banyak. Paling ibu suka
menambalnya dengan warna kain yang lain, tapi ibu menambalnya dengan
sangat rapi seperti bukan baju yang ditambal dari sisa-sisa kain. Aku
menghampiri ibu saat itu, sudah lama aku dan ibu tidak bercakap.
“Ibu..” Panggilku sambil mendorong kursi rodaku dengan perlahan dan menghampiri ibu.
“Apa Alya?”
“Ibu sudah makan siang dan shalat dzuhur bu?” Tanyaku
“Belum, tanggung. Siang ini baju yang ibu jahit harus segera selesai.
Kamu kalau mau makan, makan saja. Tidak usah pedulikan ibu!” Bentak
Ibuku.
“A..aaa.. anuu Bu, aku tidak bisa mengambilnya sendiri.” Kataku dengan gugup. Sebentar lagiibu pasti ngomel.
“Aduhh, anak manis kasian sekali kamu.” Kata ibu sambil mengelus daguku
“Ambil saja sendiri, ibu masih sibuk Alya, tolong ngerti!” Spontan ibu
langsung membentak lagi. Aku terkaget, dulu ibu tidak seperti itu. Ibu
rela menunda pekerjaannya dulu untuk menemaniku makan. Namun sekarang
ibu malah sering memarahiku. Mungkin ibuku sudah terpengaruh oleh anak
tiri dan suaminya yang sekarang.
“Ii.. iyyaa bu, maafkan aku Bu.” Kataku langsung menunduk.
Tiba-tiba..
“Assalamualaikum.. Ibu Aisyah pulang.” Teriak kak Aisyah yang sudah
pulang sekolah, kak Aisyah menghampiri tempat ibu menjahit dan mencium
tangan ibu dan aku mencium tangan kak Aisyah.
“Walaikumsalam. Urus sana adikmu, jangan sampe dia ganggu ibu lagi kerja kaya gini!” Seru Ibuku.
“Iya bu. Yuk Al, ke kamar kakak dulu.” Ajak kakaku sambil mendorong kursi roda.
“Kamu tadi kenapa sama Ibu Al?”
“Nggak kenapa-kenapa kok kak. Ibu Cuma salah paham aja, tadi kan Alya
tanya ibu sudah makan dan shalat dzuhur belum. Tadinya aku hanya ingin
mengingatkan ibu saja bukan ingin meminta makan.” Kataku menjelaskan.
“Heum, ya udah lagian ibu kan lagi kerja, jadi ibu kaya gitu. Kamu udah makan?”
“Belum kak.”
“Ya udah tunggu ya, kakak ganti baju sama shalat dulu. Nggak lama kok,
ntar kita makan bareng. Oke.” Kata kak Aisyah dan kami tos.
Aku benar-benar senang dengan kak Aisyah, kak Aisyah orangnya
bener-bener baik. Dia selalu memperhatikan aku walaupun aku tau
sebenarnya kak Aisyah lelah. Kak Aisyah selalu sabar mengurusku, bahkan
kak Aisyah yang sering membuatku tertawa lepas. Kak Aisyah sangat pintar
juga membuat lelucon. Sudah 20 menit aku menunggu kak Aisyah dan
sekarang waktunya makan siang bareng kak Aisyah.
“Kamu mau makan dimana Al. Di luar atau di dalam saja? Mungkin kamu jenuh di dalam rumah terus?” Tawar kak Aisyah.
“Di luar enak kali ya kak.” Kataku.
Kak Aisyah mengangguk dan membawaku ke teras rumah depan. Tidak begitu
luas halaman rumah kami, namun kak Aisyah selalu merawatnya dengan baik
jadi rumah kami tidak begitu terlihat jelek dan kumuh. Kak Aisyah suka
merawat tanaman-tanaman kami yang kecil setiap pagi dan sore. Jika kelak
kak Aisyah sudah menikah mungkin kak Aisyah akan menjadi IBU TERBAIK,
kak Aisyah sudah tau bagaimana caranya membagi waktu dengan baik dan
merawat anak-anak. Kak Aisyah menyuapiku dengan lembut, rasanya aku
ingin menangis, kenapa tidak ibu yang seperti kak Aisyah, kenapa bukan
Ibu lagi yang memperhatikanku. Ibuku sudah mengacuhkan aku, malah yang
sering mendapatkan perhatian Ibu itu kakak tiriku. Dia sudah cukup
dewasa, namun cara pemikirannya lebih dewasa kak Aisyah.
Setelah selesai makan siang, aku diajak jalan-jalan sama kak Aisyah
keluar rumah. Ya walaupun hanya dibawa di halaman rumah saja, tapi aku
senang kak Aisyah masih mau menyempatkan waktunya untukku.
“Aduuh, neng Aisyah setia banget jagain adiknya.” Kata salah seorang tetanggaku.
“Hehe iya dong Bu, siapapun yang punya adik pasti bakal ngejaga adiknya sendiri.” Sambung kak Aisyah.
“Iya sih neng, tapi anak ibu boro-boro gitu. Disuruh jagain adiknya
beberapa jam juga nggak mau. Anak muda sekarang itu jarang banget ada
yang kaya kamu Syah.” Cetus bu Eli.
“Ah ibu ini bisa aja, berlebihan bu.” Kata kak Aisyah merendah, aku hanya tersenyum mendengar percakapan mereka.
“Hehehe, ya udah Syah. Saya pulang dulu ya.” Kata ibu Eli.
Ibu Eli emang bener sih, buktinya kakak tiriku tidak seperti kak Aisyah.
Malah dia sering asik sendiri diem di kamar sambil dengerin radio kak
Aisyah yang dia rebut dari kak Aisyah.
Suatu waktu Ibu dan Ayah tiriku bertengkar sampai setiap hari dan itu
tidak terhitung sudah berapa kali ayah tiriku membentak ibuku. Aku
sangat sedih tidak dapat membela Ibu, namun masih ada kak Aisyah yang
bisa membela ibu. Ayah tiriku sekarang sikapnya berubah pada ibuku, dia
sering pulang malam dengan alasan lembur. Ibuku kadang tidak percaya dan
menanyakan baik-baik pada ayah tiriku ‘tidak mungkin lembur sampai
setiap hari’ dan bahkan gajinya juga sama saja dengan kerja tanpa
lembur. Tidak lama dari itu ayahku minggat dari rumahku dengan anaknya.
Katanya dia bosan punya istri cerewet kaya ibu, yang curigain terus
suaminya. Ibuku memohon-mohon untuk tetap meninggalkan anaknya disini.
Mungkin kalau aku yang pergi ibu tidak akan mencegahnya karena bagi ibu
aku itu tidak berguna tidak dapat membantu ibu apa-apa. Namun, inilah
keadaan diriku memang seperti ini jangankan untuk membantu ibu untuk
berjalan pun aku sulit. Mungkin nantinya aku malah lebih mengacaukan
pekerjaan ibu.
Ibu setiap hari menangisi anak tirinya yang dibawa oleh suaminya. Aku
melihat ibu yang selalu menangis walaupun ibu sedang menjahit. Aku
menghampiri ibu. “Ibu sudah jangan menangis terus-menerus. Mungkin kalau
kak Dewi kangen sama ibu dia akan temuin ibu disini kan.” Kataku coba
menenangkan ibu.
“Diam kamu! Tau apa kamu soal ini. Ibu merasa sangat kehilangan Al, dia
selalu memberi apapun yang ibu mau. Sedangkan anak-anak ibu mana, tidak
ada satu pun yang dapat memberi ibu gelang emas untuk menghias tubuh
Ibu.” Kata Ibuku dengan nada tersedu-sedu.
“Ibu, kalau Alya yang pergi apa ibu akan merasa kehilangan. Alya yang
sudah ibu rawat dari bayi, bahkan Alya yang sudah ibu kandung selama 9
bulan itu apa ibu masih akan pedulikan kalau aku pergi? Alya memang
tidak seperti kak Dewi yang punya uang banyak dan dapat memenuhi
kebutuhan ibu. Ibu Alya ini cacat, maafkan Alya jika Alya hanya
menyusahkan Ibu tidak dapat memberi apa yang ibu mau. Aku sungguh tidak
mampu BU.” Kataku sambil memandang wajah ibu yang berlinangan dengan air
mata di wajahnya. Ibu ku berhenti menangis dan terdiam. Ibu langsung
menghampiri aku dan hanya berdiri di hadapanku.
“Betapa berharganya kak Dewi di mata ibu, dia Cuma anak tiri ibuk an.
Aku coba paham sama sikap ibu yang beberapa tahun ini sama sekali tidak
mempedulikan aku. Apa aku sama berharganya dengan kak Dewi?”
Ibu memelukku “Maafin Ibu Alya, ibu khilaf. Ibu suka terpengaruh sama
omongannya Dewi. Dewi pernah bilang sama Ibu, buat apa mengurus anak
yang sama sekali belum bisa menghasilkan uang untuk Ibu. Ibu terhanyut
begitu saja dengan kata-kata Dewi, sehingga ibu tidak mempedulikan kamu
dan Aisyah. Ibu menyesal Nak.” Ibu memelukku semakin erat dan menangis
lagi.
Tiba-tiba kak Aisyah datang di balik pintu, kak Aisyah sudah
mendengar percakapan aku dengan Ibu seadari tadi “Asstagfirullah Ibu.
Semuanya juga butuh proses untuk menghasilkan uang dan kita juga harus
punya bekal dulu untuk bisa bekerja. Ibu tau Aisyah ini masih sekolah
kan bu, Alya juga tidak dapat menghasilkan apa-apa karena keadaannya
yang tidak mendukung, dan ibu masih mengharapkan uang dari kita yang
masih belum layak bekerja. Ibu, Aisyah Janji Aisyah bakal bahagiain ibu
kelak Aisyah sudah sukses, Alya juga selalu berusaha menjadi anak yang
berguna untuk ibu dan bapak. Namun, sekarang bapak sudah pergi entah
kemana. Bapak sudah tidak peduli lagi sama kita. Dan sekarang Ibu juga
seperti ini karena terhasut oleh omongan orang lain, uang dan perhiasan
yang sekarang ibu pakai.”
“Aisyah maafin Ibu Nak, ibu memang salah. Ibu tidak peduli sama kalian
karena Dewi dan bapaknya selalu memberi Ibu uang untuk sehari-hari.
Untuk kamu sekolah juga, Nak.”
“Sudah, bu. Ibu tidak harus seperti ini, mereka sudah meninggalkan ibu
tanpa mempedulikan betapa sakitnya ibu yang terkhianati. Aku tau Pak
Reno sudah punya perempuan yang lain lagi. Aisyah melihat dengan mata
dan kepala Aisyah sendiri, pak Reno keluar dari rumah makan dan
menggandeng seorang perempuan. Aisyah tidak ingin menceritakannya karena
mungkin ibu tidak akan percaya.”
“Aisyah, apa kamu sungguh dengan apa yang kamu bicarakan?”
“Tentu Ibu.”
“Ya sudah lupakan saja. Biarkan saja Reno pergi, hati ibu sudah sangat
sakit sekali. Ibu mohon sama kalian ya jangan pergi dari ibu. Ibu cukup
kehilangan ayahmu yang sekarang dan anak tiri ibu. Ibu baru sadar, anak
yang paling berharga itu anak yang sholeh dan menyayangi orang tua.”
“Iya syukurlah kalau ibu sadar. Sayangi Alya seperti yang ibu janjikan
dulu ya Bu. Waktu pertama Alya dilahirkan, ibu ingat kan? Jangan acuhkan
Alya bu, kalau Aisyah sih tidak apa-apa. Aisyah dapat melakukan sesuatu
sendiri, tolong ya bu sayangi Alya seperti dulu. Dan kami tidak mungkin
membiarkan ibu sendiri disini.” Kata kak Aisyah sambil memeluk aku dan
ibu.
“Iya Aisyah ibu Janji dan takkan melanggarnya lagi. Maafin ibu ya Nak.”
Lanjut ibu, sambil tersedu-sedu “Ternyata kamu udah cukup dewasa Syah.
Ibu sayang kalian.” Sambung Ibu lagi dan memeluk kami dengan erat. Aku
sangat merasakan kehangatan saat ini, aku bahagia hari ini dan mungkin
seterusnya.
“Ibu Alya minta ibu jangan menangis lagi, lupakan semua masalah ibu. Ada
Alya sama kak Aisyah yang bakal nemenin ibu terus.” Kataku sambil
mengusap air mata di wajah ibu.
“Iya Nak, terimakasih sudah mau memaafkan ibu.”
“Sudahlah ibu, kami ini anak ibu. Tidak baik jika saling menyimpan rasa
benci atau apapun itu. Alya tetep sayang sama ibu ko.” Kataku sambil
merasakan kehangatan pelukan dari Ibu.
*Terimakasih Ya Allah, sudah menyadarkan ibuku kembali. Doaku yang kupanjatkan malam ini.
Sekarang aku tertidur dengan pelukan hangat dari seorang Ibu lagi dan
kak Aisyah. Dan kecupan di keningku yang dapat menenangkan hatiku.
Sekarang Allah sangat adil kepadaku, dia telah mengirimkan dua Malaikat
untuk menjagaku agar aku tak kesepian.
Armada – Ibu
Peluk bahagia, bilaku dewasa.
Khilaf yang pernah aku lakukan dahulu.
Tak berniatku tuk menyakiti hatimu.
Oh.. Ibu…
Cintamu tak mengenal waktu.
Kasihmu menyadarkan aku.
Tak ada yang lebih dari mu.
Oh.. Ibu..
Apakah ku mampu membalas semua yang pernah kau beri dengan ikhlas.
Nyawa pun relakanku lupa.
Oh.. Ibu…
Hidupmu menuntun jalanku.
Cahaya terang dalam gelap langkahku menuju surga dikakimu.
Menuju surga dikakimu.
Oh.. Ibu…